Posted by: bachtiar hakim | August 8, 2008

Lapangan Pakuan di Era Futsal : “Dulu Rebutan, Kini Terabaikan”


Lapangan Pakuan di Era Futsal

Dulu Rebutan, Kini Terabaikan

Terabaikan. Begitulah nasib Stadion Pakuan, Jatinangor kini. Tapi patut disimak dahulu. Bukanlah kondisi lapangan milik Universitas Padjadjaran ini yang akan saya bicarakan. Soalnya, bukan hal yang aneh bila anda melihat kondisinya sekarang. Dari dulu keadaannya memang sudah tidak terawat apalagi bila melihat fasilitas penunjang lainnya. Istilah ‘Terabaikan’ disini lebih ditujukan kepada rendahnya minat mahasiswa sebagai pengguna lapangan sekarang.

Kok Stadionnya Jelek? Jangan ditanya lagi. Sejak saya masuk pada tahun 2003, ruang ganti, wc, dan tribunnya sudah rusak. Bermain bola secara normal (sebelas lawan sebelas) disini sama saja harus menghadapi dua belas lawan. Musuh tambahannya tentu permukaan lapangannya yang tidak rata. Rumputnya malah kadang dibiarkan tumbuh lebat hingga tingginya mencapai setengah betis.

Sudah biasa jika sasaran umpatan pemain yang cedera sering ditujukan kepada buruknya tanah bekas astana (pemakaman) besar yang disulap menjadi lapangan sejak pertengahan tahun 1980-an ini. Saya sendiri pernah merasakannya. Terkilir di lubang kecil saja menyebabkan cedera engkel lumayan parah hingga harus di-“sendok” oleh Kang Asep, “dokter” urut langganan “pemain pakuan” dengan metode “congkel urat”.

Anehnya, meski penggunanya seringkali mengalami cedera, mereka tetap saja datang kembali. Itulah hal yang luar biasa. Kalau tidak percaya, tanyakanlah pada mahasiswa sebelum angkatan 2006! Saban pagi dan sore, lapangan selalu terisi. Pagi hari, sisi lapangan tak pernah sepi dijejaki orang yang lari pagi. Siangnya memang sepi. Wajar saja! Siapa yang mau melawan terpaan matahari yang telak “membakar” kulit.

Bila sudah menjelang pukul tiga sore barulah mulai ada tanda-tanda kehidupan di lapangan. Jangan heran kalau menjumpai permainan sepakbola yang aneh apalagi bila sudah lewat pukul empat. Dalam satu lapangan, anda bisa menonton empat sampai enam pertandingan sekaligus. Belum lagi ada dua sampai tiga permainan di sisi luar lapangan. Bayangkan! Ada puluhan bahkan ratusan orang berada di lapangan.

Pemandangan itu membuktikan Animo pengguna lapangan yang sering digunakan sebagai upacara tujuh belas agustus oleh warga Jatinangor ini sangat tinggi. Bukan pernyataan hiperbolis bila saya bilang bahwa lapangan ini dulunya jadi rebutan. Bagaimana tidak, bila lapangan penuh, semak belukar yang terletak di sisi lapangan pun bisa disulap menjadi arena bermain.

Sebagai “pelanggan setia”, saya tahu betul bagaimana caranya bila ingin “merebut” jatah lapangan disini. Minimal paling lambat pukul tiga, saya harus memberi tahu rencana bermain dan menanyakan siapa yang ingin ikut. Lalu, setengah jam kemudian, dengan persiapan peralatan sepakbola seadanya kami berkumpul di tribun lapangan. Biasanya yang menepati janji bisa dihitung dengan jari saja. Selebihnya datang terlambat.

Pastinya diantara kami harus ada yang berinisiatif membawa bola. Tak lupa sandal maupun tas butut menjadi barang wajib nan berharga disini. Tas dan barang –barang berat lainnya akan dijadikan sebagai pembatas area bermain dan gawang. Dengan jumlah puluhan orang jangan harap permainan akan bisa dinikmati tanpa pembagian lapangan yang adil. Begitulah bila mau bermain sepakbola mini di lapangan pakuan.


Responses

  1. parah…
    gor pakuwan dulu tempat kami para skateboarder bermain skate..tapi di usir…
    sekarang curi2 lagi..tapi tetep aja rebutan sama yg maen futsal..pdahal tempat maen futsal sangat banyak…kenapa mreka ga mau mengalah dengan kami para skateboarder yg sangat butuh lahan bermain….


Leave a comment

Categories