Posted by: bachtiar hakim | June 4, 2008

Jurnalisme Sastrawi – Andreas Harsono & Budi Setiyono


Judul Buku : ‘Jurnalisme Sastrawi’

Penyunting : Andreas Harsono & Budi Setiyono

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

Tahun : 2005 (Cetakan pertama)

Rangkuman :

1.1 ‘Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita’ (Andreas Harsono)

“Jurnalisme sastrawi” adalah satu dari setidaknya tiga nama buat genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe pada tahun 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama “new journalism”. Wolfe dan Johnson menulis kata pengantar. Mereka bilang genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam benrtutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail.

Di Indonesia, kehidupan pers baru bebas mulai tahun 1998 saat Soeharto Ambruk. Negara baru ini di bentuk 1950-an dengan menghancurkan semua surat kabar“peninggalan” colonial Belanda. Buntutnya republic baru ini tak punya sejarah jurnalisme yang panjang. Kebanyakan wartawan tumbuh hanya dengan batas 1000 atau 2000 kata per cerita. Apalagi di zaman Orde Baru. Saya menulis bahwa di Indonesia genre ini tidak berkembang karena tidak ada media yang mau menyediakan tempat uang dan waktu untuk naskah panjang.

Atmakusumah Astraatmaja, Ketua Dewan Pers, pesimis genre ini berkembang di Indonesia. Pasalnya, kebanyakan media bermodal kecil atau sama sekali tidak berkeuntungan. Media massa kita lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas yang memerlukan banyak waktu untuk membuatnya.

Robert Vare pernah bekerja untuk The New Yorker dan The Rolling Stones. Menurut Vare, ada tujuh pertimbangan bila hendak menulis narasi. Pertama, fakta. Jurnalisme menyucikan fakta. Walau pakai kata dasar “sastra” ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta.verifikasi adalah esensi jurnalisme. Maka apa yang disebut dengan jurnalisme juga mengdasarkan diri pada verifikasi.

Kedua, konflik. Suatu tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Ketiga karakter. Narasi minta ada karakter-karakter. Karakter membantu mengikat cerita. Ada karakter utama. Ada karakter pembantu. Keempat, akses. Seyogyanya punya akses kepada para karakter. Akses bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, gambar, kawan, musuh, dan sebagainya.

Kelima, emosi. Emosi menjadikan cerita lebih hidup. Keenam perjalanan waktu. Peristiwa berjalan bersama waktu. Konsekuensinya, penyusunan struktur karangan, bersifat kronologis ataw flash back. Ketujuh, kebaruan. Tak ada gunanya mengulang lagu lama. Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan ini dari kacamata orang biasa yang menjadi saksi mata peristiwa besar.

2.1 ’Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft’ Bagaimana wartawan Indonesia meliput dan jadi saksi pembunuhan orang Aceh? (Chik Rini)

Lhokseumawe memang pusat industri di Aceh. Ia kota kedua terbesar di Aceh setelah Banda Aceh. Dalam perut bumi daerah ini terdapat kandungan gas alam terbesar di Indonesia. Ironisnya Lhokseumawe bukan kota yang makmur. Banyak orang Aceh miskin, hidup di pinggiran pabrik. Jakarta hanya memberi sedikit keuntungan penjualan gas alam, pupuk dan kertas ke daerah itu. Di Lhokseumawe ada ketidakadilan. Disana juga muli timbul perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tapi dominasi militer Indonesia sangat kuatselama sepuluh tahun antara 1989 dan 1998, Lhokseumawe jadi sasaran utama operasi militer Indonesia, bersama Aceh Timur dan Pidie.

Di Lhokseumawe ada ketidakadilan. Di sana juga mulai timbul perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut GAM. Tapi dominasi militer Indonesia sangat kuat. Selama 10 tahun, antara 1989 dan 1998, Lhokseumae jadi sasaran utama operasi militer Indonesia, bersama Aceh Timur dan Pidie. Setidaknya 1.321 orang mati terbunuh, 1.958 hilang, dan 3.430 mengalami penganiayaan.

Umar,mengirim banyak gambar kekerasan Aceh ke RCTI. Tapi Imam Wahyudi ingin sesuatu yang dianggapnya belum diberikan Umar. Imam mengatakan, di antara sisi kekerasan Aceh, seharusnya ada sisi damai dalam masyarakatnya, Imam ingin menggambarkan itu kepada penonton RCTI.

Beberapa bulan terahir di kampong-kampunag Aceh Utara kerap dilaksanakan dakwah GAM. Biasanya dilaksanakan sore atau malam hari. Isi dakwahnya semacam pendidikan politik dan sejarah. Si penceramah bercerita sejarah Keultanan Aceh, kisah heroik para pahlawan Aceh ketika berperang melawan Belanda pada periode 1884 hingga 1915.

Menjelang pukul 12.00 massa mulai melempari kaca jendela koramil. Sebuah sepeda motor milik tentara yang di parkir di sekitar situ dibakar hingga hangus. Tentara memberi tembakan peringatan beberapa kali ke udara. Massa sempat lari.

Siang itu bagai ada perang di Aceh utara. Mobil-mobil membawa korban berlari kencang melewati jalan Krueng Geukeuh Lhokseumawe. Rintihan kesakitan terdengar dimana-mana, ditambahi jerit tangis keluarga korban yang mulai berdatangan. Suasana agak kacau.

Malam itu suasana Lhokseumawe terasa mencekam. Hanya suara sirine terdengar sampai pukul 10 malam. Jalan sepi. Keramaian saat itu terkonsentrasi di Rumah Sakit. Orang-orang di Lhokseumawe terus menunggu perkembangan berita di televise dan radio. Berita pertama muncul di RCTI sebagai headline.

Tak ada yang tahu persis siapa yang memulai. Massa makin tak terkendali.mulai saling dorong. Tentara Batalyon 113 yang sedari tadi berdiri ditengah massa mulai terjepit. Ada lemparan batu yang jatuh di depan deretan anak-anak dan ibu-ibu.

Tentara-tentara dari kejauahan mulai memberikan tembakan, masapun berhamburan. Akan tetapi tentara-tentara tersebut ada yang seperti kesetanan, mereka mulai mengejar dan menembaki orang-orang yang berlarian. Korban mulai berjatuhan. Satu, dua, tiga, delapan orang rubuh di jalur kanan jalan. Yang lain, satu persatu jatuh, terutama yang jaraknya dekat dengan tentara.

Fipin mengangkat kameranya tinggi dan mengarahkannya ke tentara-tentara di dekatnya yang sedang menembaki pohon-pohon kelapa. Di kejauhan beberapa tentara lain sedang melepaskan tembakan secara brutal ke arah masa yang berlarian. Dia sudah tak bisa berpikir apapun, kecuali merekam semua adegan itu.

Rabu, 5 Mei 1999, setelah mencapai Jakarta, gambar video orang-orang sipil di Simpang Kraft muncul di televisi-televisi nasional. Itu gambar Ali Raban yang disiarkan Reuters ke pelanggannya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pemandangan saat rausan orang berhamburan dengan panik saat tentara menembak sungguh membangkitkan emosi siapa saja yang menontonnya. Tragedi ini kemudian lebih dikenal sebagai Peristiwa Simpang Kraft.

RCTI ketinggalan satu setangah jam dari berita pukul 17.00 di Anteve yang menyiarkan gambar Reuters. Gambar Fipin Kurniawan naik pada siaran berita Seputar Indonesia pukul 18.30. Iman dan Fipin kecapekan di Jakarta tapi Indonesia melihat bagaimana sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari Aceh. Peristiwa Simpang Kraft sudah diberitakan. Sisanya sejarah.

Peristiwa Simpang Kraft bagai tenggelam oleh berbagai kasus kekerasan lain yang terus bermunculan di Aceh.peristiwa itu bukan akhir cerita sedih di Aceh. Hampir tiga tahun lebih para korban peristiwa Simpang Kraft mencari keadilan. Koalisi NGO HAM Aceh adalah organisasi non-pemerintah di Banda Aceh yang berupaya melakukan advokasi terhadap para korban.

Sebenarnya para korban sudah pesimis untuk mencari keadilan. Selain itu juga takut karena jika memberi kesaksian akan ada tekanan dari pihak lain. “kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pai-pai itu tidak kena hukum padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh.

2.2 ’Taufik bin Abdul Halim’Jejak petualang terpidana kasus teror bom di Jakarta (Agus Sopian)

Dari balik kacamata minusya, sejenak Dany memeriksa keadaan. Ditaruhnya kantong plastic itu diatas conblok, beberapa centimeter dari kaki kanannya. Selang beberapa waktu, Abbas melintas di hadapan Dany dan memberi isyarat dengan gelengan kepala. Dani tak melihat. Demikian pulaisyarat melalui gerak tangan dari Abdulah yang mengekor Abbas. Semuanya berlangsung serba cepat.

Tiba-tiba saja blarrrr…tubuh Dany terguncang dan mental. Lampu-lampu mati. Plafon langit-langit terkelupas sebagian. Pecahan kaca berserakan di lantai, orang-orang di dalam Atrium Plaza menghambur keluar. Jerit histeris massa membahana

Dany yang bernama lengkap Taufik bin Abdul Halim bersama tiga orang rekannya yaitu Agung, Abdullah, dan Abbas melakukan serangan bom di sebuah Atrium Plaza. Dan yang juga ikut menjadi korban dalam serangan bom tersebut tidak lama langsung dicuragai polisi, polisi menduga salah satu dari enam orang korban ledakan adalah pelaku.

Dany yang berasal dari Malaysia ini pernah berangkat ke Pakistan untuk memperdalam ilmu agama. Di Pakistan, sebuah momentum mengubah sikap dany. Di sana dia melihat banyak serdadu dan milisi tewas dan terluka akibat perang. Hati dany tergerak untuk melihat keadaan perang lebih dekat, maka dia memutuskan untuk pergi ke afghanistan.

Sebelum turun ke medan tempur, dany terlebih dulu masuk muaskar Taibah di Konark selama dua minggu. Selama tiga bulan dia mempelajari teknik-teknik kemiliteran, mulai dari menembak, melempar mortir, hingga membuat bom sederhana. Dany hanya beberapa bulan berada di garis depan. Peperangan pelan-pelan menyurut segera setelah Gulbudin Heknmatyar menerima tawaran Burhanuddin Rabbani untuk gencatan senjata pada 1996.

Sepulangnya dari Pakistan, dany kemudian digiring oleh polisi malaysia karena berdasarkan laporan dari Pakistan bahwa dia telah melarikan diri dari pusat pelatihan militer.

Dany menyatakan dirinya pernah menghadiri pengajian yang menampilkan penceramah Hambali, tersangka terorisme yang tempo hari ditangkap di Thailand dan kabarnya kini berada dalam tahanan Amerika. Hambali lahir di Cianjur 4 April 1964 dengan nama Cecep Nurjaman.

Juni 2000, beberapa bulan setelah lulus dan menyandang gelar Insinyur, Dany berkumpul bersama sembilan temanya dari berbagai daerah. Mereka berbulat tekad untuk berangkat ke Ambon melalui jalur laut. Dany berusaha masuk ke Poso yang sedang memanas. Tak jadi. Semua jalan menuju ke sana sudah terblokir, selain susahnya kendaraan. ‘lagi pula,’ ungkap Dany, ’niat awal kami kan memang ke Maluku.’

Kinerja buruk militer Indonesia melahirkan frustasi di kalangan warga Ambon. Dan ketika rasa frustasi itu memuncak, mereka memutuskan untuk menjebol gudang peralatan militer milik TNI di daerah Tantui. Dany datang kesana, tapi senjata rampasan sudah habis dibagi-bagikan pensusuk. Dany akhirnya mengitari kota Ambon. Di lingkaran luar, Dany mendapati pengrajin senjata rakitan yang sudah bisa membikin senapan semiotomatis.

Perang di Ambon, buat Dany, benar-benar menguras isi kantong. Bagi lascar jihad, uang tampaknya bukan halangan. Mereka mendapatkannya dari sejumlah simpatisan, selain mengedarkan kotak sumbangan di jalan-jalan mulai Jakarta, Bandung, hingga Surabaya. Peran Hambali dalam kasus Abon munsul dari nyanyian Ustadz Aceng alias Iqbaluzzaman di Bandung. Dalam pengakuannya di depan pengadilan, ia mengatakan bahwa dirinya pernah diceramahi Hambali di Hotl Rinjani, Bandung, pada 2000. Klimaksnya, Hambali meminta Iqbaluzzaman untuk membenatu penderitaan muslim Ambon dengan melakukan ’aksi ramadan,’ yang belakangan diketahui memuat rencana pemboman terhadap sejumlah gereja di Bandung dan sekitarnya. ’ini perang kota,’ kata Hambali sebagaimana ditirukan Iqbaluzzaman.

Februari 2001, Dany menumpang kapal laut menuju Surabaya. Teman-temannya dari Malaysia tak lagi utuh, sebagaimana mereka berangkat dari Sabah dulu. Danya praktis hanya ditemaqni dua sahabat Malaysia, mereka adalah Usman dan Rusli alias Ibrahim. Daniel Saputra dari Riau dan Gozi dari Medan melangkapi kelompok ini.

Dany kemudian tinggal di sebuah rumah yang terletak di jalan Malaka Raya Blok II, Perumahan Klender, Jakarta Timur. Subagio tak tahu siapa saja yang bertandang ke rumah itu. Yang dapat dipastikan, hampir setiap waktu rumah itu selalu didatangi tamu. Wisnu Subarkat mengingat salah seorang di antaranya Imam Samudra.

Abbas tak menyangkal kalau Imam Samudra kerap bertandang. Di sana mereka sering berdiskusi soal-soal agama, termasuk nasib kaum Muslim di Ambon yang dimata mereka sedang teraniaya dan membutuhkan pertolongan mereka karena ditekan orang kristiani. Desakan untuk melakukan pemboman di Jakarta pun datang dari Imam Samudra.

Atrium Plaza ditetapkan sebagai salah satu sasaran berikutnya. Sempat beredar selentingan bahwa pemboman atas Atrium Plaza dilatari persaingan bisnis. Motif ini kelak menguap ketika Dany dan Abbas ditetapkan sebagai tersangka dan ternyata tak punya korelasi apapun dengan kepentingan bisnis.

Motif mereka yang diakui secara eksplisit di depan polisi dan tak pernah dibantah sampai jatuh vonis pengadilan- adalah balas dendam atas perlakuan kaum kristiani yang dimata mereka telah menindas komunitas muslim di Maluku. Yang jadi pertanyaan, kenapa bom seberat sekitar satu sampai dua kilogram itu meledak sebelum waktunya. Apakah benar Dany dijahili dengan jalan peledakan jarak jauh. Dany tersenyum dia tak melihat kemungkinan tersebut.

Dany menyerah. Dia mengungkapkan sejumlah pengakuan, termasuk tentang teman-temannya yang terkait kasus pemboman di Atrium. Pada 9 Agustus 2001, Dany ditetapkan sebagai tersangka.

Abbas baru ditangkap pada 1 September 2001 di rumah mertuanya di kampong Babakan Pareundeung, Kawalu, Tasikmalaya. Februari 2002, perkara Dany disidangkan pengadilan. Di hampir semua persidangan, Dany selalu terlihat tenang. Sorot matanya tetap tajam, kontras dengan wajahnya yang cekung. Dua bulan kemudian sikapnya yang tenang terkelupas. Dia mencoba berdiri dengan tubuh gemetar. Parasnya pucat, kelopak mata memerah. Dany baru saja divonis mati. Dia kelihatan sedih, meski tak ada air mata menetes.

Dalam peradilan tingkat banding, hukuman buat Dany berkurang. November 2002 Dany diputus 20 tahun penjara. Abbas pun terhindar dari hukuman mati, yang diterimanya seminggu setelah vonis buat Dany jatuh. Abbas pun mendapat 20 tahun penjara.

2.3 ’Hikayat Kebo’ Mengapa kekerasan massa terus meningkat di masa pasca-Soeharto? (Linda Christanty)

Seorang mahasiswa di sebuah sekoah tinggi publisistik di Jakarta bernama Faried baru saja pulang ketika keponakannya memberitahu ada keramaian dekat pemukiman para pemulung. Faried bergegas ke sana.

Orang yang bernama Kebo ternyata telah dihakimi oleh warga, para pemulung sempat ingin membakannya, tetapi Faried langsung mengatakan jangan menghakimi Kebo di kampungnya karena takut nama kampung itu tercemar. Para pemulung lalu memasukan tubuh Kebo ke gerobak lalu mendorong gerobak itu ke tempat pembakaran sampah. Bagai mengawali seremoni persembahan, salah satu dari mereka menyalakan korek api.

Kebo adalah salah seorang dari pemulung juga, ia tinggal di bilik-bilik para pemulung di belkang Mall Taman Angrek. Kebo hampir setahun tinggl di lapak tersebut. Kebo beristrikan seorang pedagang pecel bernama Muah, pertemuan mereka terjadi kebetulan. ’Kebo tinggalnya enggak tetap. Semenjak dia dibelakang Mall Taman Angrek, saya enggak ikut. Saya disuruh ngurusin anak,’ kenang Muah. Kebo menitipkan uang belanja buat Muah melalui saudara atau teman sekampung yang datang ke Jakarta. Kadang-kadang Kebo datang sendiri mengantarkannya.

Setelah berubah, tingkah Kebo yang kerap menjadi pemabuk tidak berubah. Bahkan dia jadi amat pencemburu. Rasa cemburu membuat Kebo tega menyakiti istri sendiri. Kebo boleh cemburu pada istrinya, tapi Muah harus menerima kehadiran perempuan lain dalam rumah tangganya.

Pada 1992, Kebo membuat ulah kali pertama dengan penduduk kampung Sisalam. Dia mengancam seorang pria bernama Soka. Kebo menempelkan golok di leher Soka sambil menggiringnya mondar-mandir di jalan desa. Penduduk menyaksikan tapi tak berani melerai. Akibat perbuatannya itu Kebo dikurung lima bulan di tahanan kepolisian resort Brebes.

Senja turun pada jumat 18 Mei 2001. dua pelacur, Lina dan Unyil, menemani Kebo yang teler di dalam biliknya. Biasanya Kebo ditemani salah seorang dari mereka, kali ini agak istimewa.

Kebo memerintahkan kedua wanita ini untuk menirukan adegan lesbian seperti dalam film-film biru, tetapi kedua wanita itu menolak lalu Kebo mengancam mereka. Kebo menyiram tempat tidur kayunya dengan dua liter minyak tanah, lalu menyulut korek api. Lina dan Unyil nekat membuka pintu. Mereka lari tunggang langgang. Bilik Kebo terbakar. Api merembet ke bilik-bilik tetangga.

Sewaktu orang-orang menyelamatkan diri serta barang-barang mereka dari jilatan api, Kebo telah meninggalkan kawasan tersebut. Sebelas bilik hangus.

Dua hari kemudian pemulung-pemulung yang membawa golok, besi, dan kayu menemukan Kebo teler di lapak kayu Kedoya Utara, Jakarta Barat. Kebo dianiaya beramai-ramai tanpa melakukan perlawanan.

Empat pembunuh Kebo masih buron. Sebelum menghilang, mereka mengumumkan kematian Kebo kepada pemulung lain sambil tertawa bangga. Polisi hanya berhasil membekuk delapan tresangka penganiaya Kebo, termasuk Suhari, paman Muah, dan Zumadi, adik Muah satu ibu.

Muah termangu memandangi serpihan-serpihan kertas yang berserak di lantai, surat nikahnya dengan Kebo. Kebo merobek surat tersebut saat mereka bertengkar hebat untuk kesekian kali.

’Akan saya simpan terus kenang-kenangan,’ ujar Muah, nyaris berbisik.

2.4 ’Konflik Nan Tak Kunjung Padam’Bagaimana majalah Tempo mengatasi masalah dan meletakkan budaya perusahaannya? (Coen Husain Pontoh)

Ada beberapa alasan kenapa nama Tempo yang dipilih untuk menjadi nama majalah. Pertama, singkat dan bersahaja, enak diucapkan oleh lidah Indonesia dari segala jurusan. Kedua, terdengar netral, tidak mengejutkan, dan tidak merangsang. Ketiga, bukan simbol suatu golongan. Dan akhirnya, arti ‘Tempo’ sederhana saja; waktu – sebuah pengertian yang dengan segala variasinya lazim digunakan untuk penerbitan diseluruh dunia.

Tempo diciptakan oleh tangan-tangan terampil, orang-orang berjiwa seni yang senang dengan pekerjaannya. Perlahan Tempo merebut hati pembaca. Edisi pertama laku 10 ribu eksemplar, edisi kedua terjual 15 ribu eksemplar.

Nasib pahit dialami Tempo ketika Menteri Penerangan Ali Moertopo mengeluarkan keputusan pada 12 April 1982. Isinya, membekukan SIT Tempo karena melanggar kode etik pers yang bebas dan bertanggung jawab.

Goenawan Mohamad sebagai pemimpin redaksi membubuhkan tanda tangan di sehelai kertas, pada 7 Juni 1982 izin terbit Tempo dicairkan kembali. Lima tahun sesudahnya Tempo kembali diguncang prahara. Sabtu 13 Juli 1987, majalah berita terbesar di Asia Tenggara ini dilanda ketegangan. Sekelompok orang muncul dilantai delapan gedung Tempo yang terletak dikawasan bisnis Kuningan, Jakarta. Mereka adalah karyawan Tempo yang kemudian keluar dari majalah ini. Banyak yang tidak menduga bahwa majalah sebesar ini yang terlihat kompak dan solid ternyata terpecah.

Pada 1990 eksodus kembali terjadi. Tak kurang dari 20 orang spontan keluar dari Tempo. Eksodus gelombang kedua ini terdiri atas dua kelompok. Kelompok pertama membentuk majalah Prospek dan kelompok kedua bergabung dengan harian Berita Buana.

Pada Juni 1994, majalah bergengsi ini dibredel pemerintahan Soeharto. Bersama Tempo, dibredel pula ’saudara tirinya’ Editor dan tabloid mingguan yang tengah menjulang, Detik.

Pembredelan dilakukan setelah Tempo menurunkan laporan utama tentang pembelian kapal perang eks Jerman Timur. Pembelian dilakukan oleh Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habiebie, orang kepercayaan Soeharto yang juga memimpin Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, organisasi Islam yang sangat berpengaruh.

Demikianlah, ketika Tempo menurunkan laporan dengan kulit muka berjudul ‘Habiebie dan Kapal itu’ pada 11 Juni 1994, tak lebih sebulan kemudian, tepatnya 24 Juni 1994, Tempo dibredel.

Protes dan demontrasi meletus di berbagai tempat, termasuk yang berdarah pada 24 Juni 1994 di Jakarta ketika sekitar 300 demonstran di seberang gedung Departemen Penerangan. Mereka bersiap-siap melakukan orasi ketika tentara tanpa seragam, hanya memakai kaos hitam, menyerang secara membuta.

Setelah kejatuhan rezim orde baru, Tempo kembali terbit. Awak tempo bertekad merebut hati pembacanya kembali yang selama empat tahun berlabuh ke majalah lain. Promosi besar dianggarkan. Sejumlah pembaruan dilakukan. Membuka lembar demi lembar Tempo akan terasa nuansa yang berbeda dari Tempo lama.

Ikhwal penurunan kualitas Tempo juga disayangkan Erik Prasetya, dosen fotografi IKJ. Prasetya menilai kualitas foto Tempo menurun. Para fotografer Tempo hanya mencari gampangnya, yang penting gambarnya jadi.

Sejarah memang buklan untuk ditangisi. Juga tidak untuk dikambinghitamkan. Sejarah hanya menyediakan bahan baku buat dipalajari dan diambil hikmahnya. Dari sanalah orang meretas jalan menuju masa depan yang lebih baik. Dan inilah tugas Tempo kini, termasuk menjawab soal penurunan kualitas.

Niat menerbitkan harian Koran Tempo terwujud pada ulang tahun ke-30 majalah Tempo pada 2 April 2001. menurut Bambang Harymurti, secara umum Koran Tempo ingin mengembalikan prinsip-perinsip jurnalisme harian yang kini terabaikan; cepat, lugas, tajam, dan ringkas.

2.5 ’Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan’Pengalaman hidup dewngan serdadu-serdadu Indonesia yang bertugas di Aceh (Alfian Hamzah)

Sekitar 700 serdadu dari Batalyon Infanteri 521/Dadaha Yodha menyemut di bibir dermaga, menunggu giliran naik ke kapal Teluk Bayur. Mereka akan berlayar ke Aceh, medan perang yang jaraknya 3.000 kilometer dari asrama mereka di Kediri. Suasana di atas kapal mirip pasar tumpah. Orang lalu-lalang tapi ruang terbatas.

Prajurit Kepala Muhamad Khusnur Rokhim ditunjuk sebagai pemandu jalan. Perasaan rokhim mendadak tak enak. Tapi dia tak ingin menurutinya. Medan di seputarnya berbicara lain; bukan medan kritis. Tak ada ketinggian. Konvoi telah bergerak sekitar 500 meter meniggalkan koramil.

Prajurit Kepala Muhamad Khusnur Rokhim merupakan tentara yang sangat waspada. Pada jarak 10 meter, dari potongan rambutnya saja, orang sudah bisa menebak kalau dia tentara. Rokhom membawa SS-1, senapan serbu buatan Indonesia. Senjata itu istri keduanya. Kemana pergi selalu dibawa. Rokhim serdadu yang mudah diajak berteman. Jika sudah percaya apa saja akan dilakukannya. Ada yang bilang, 90 persen penyakit tentara kita adalah suka mabuk. Rokhim masuk golongan 10 persen.

Rokhim dua kali ikut pendidikan pasukan penyergap Rajawali pada 1997 dan 1999. kurun itu, dia ikut pasukan pemburu di Timor Timur dan Aceh. Baru pada 2002 dia ikut pasukan kerangka atau teritorial. Pada 1999, Jakarta mengirim sekitar 1.500 orang pasukan Rajawali ke Aceh Utara dan Pidie.

Malam itu seratus serdadu disiapkan menyergap persembunyian GAM di wilayah Jeuram. Sebuah kekuatan besar menghadapi musuh yang ditaksir 30 orang. Beberapa prajurit dibekali senapan pelontar granat. Panjangnya sekitar dua jengkal. Hitam warnanya.

10 Mei 2002, sekitr 60 serdadu yang terbagi dalam tiga tim berangkat dengan berjalan kaki dari Lhoksari menuju Bukit Tengkorak. Sebelum berangkat, prajurit Yonif Linud 700 sudah memperingatkan bahaya yang akan menghadang. Di puncak bukit, kabarnya, GAM telah memasang senapan mesin berat 12,7 milimeter.

Tentara di Aceh tinggal di pos-pos sepanjang jalan provinsi. Jaraknya cukup rapat, kendati belum dapat menyamai kerapatan tentara di Timor Timur. Di sana, setiap tiga desa ada satu pos tentara. Sementara di Aceh, satu pos kadang bertugas mengamankan belasan desa.

Satu-sua kali ’masuk kolam ikan,’ tidak ada ikan berhasil dijaring. Tak ada kontak senjata dengan GAM. Beberapa serdadu mulai percaya kalau setiap wartawan ikut pasti tidak ada hasil.

Intelejen termasuk di antara kelemahan mendasar pasukan TNI di Aceh. Sebenarnya, sudah ada satuan intelejen SGI yang bertanggung jawab untuk urusan itu. SGI masuk Aceh pada 1999. Mereka lebih dulu ditempatkan disana sebelum Jakarta mulai mengirim kembali pasukan pascapenarikan DOM


Leave a comment

Categories